Gelembung Hujan di Dunia yang Aku Tulis Sendiri

Di dunia yang kutulis sendiri barangkali memang aku seekor belalang yang sibuk melompat kesana kesini, Tubuhku kecil, suaraku tak nyaring. Sesekali aku tersesat di rerumputan, sesekali hinggap di dahan yang rapuh, seringkali jatuh ke tanah retak yang gersang. Tak punya peta, tidak pernah benar-benar tahu kemana aku akan jatuh. Merengek-rengek lalu menyamar menjadi manusia seperempat abad yang memiliki banyak permintaan.

Di dunia yang kutulis sendiri, aku bebas mau jadi Burung Albatros atau Gajah, aku bebas terbang melintasi tiga samudera sekaligus, tanpa henti, tidak kenal takut, atau aku bisa saja berjalan pelan, menyingkir dari keramaian tanpa perlu meminta izin. Aku bisa menangis, lalu melanjutkan langkah seperti biasa (tentu saja tanpa ada yang menghakimi), aku bisa pulang ke kawanan, atau memilih sunyi di tepian sungai, karena menjadi besar bukan berarti aku harus selalu terlihat. Aku terbiasa menyimpan cerita orang-orang yang lewat, menyulam ingatan itu menjadi penunjuk arah pulang lalu menyamar lagi menjadi manusia seperempat abad yang kali ini memiliki banyak kekhawatiran.

Di dunia yang kutulis sendiri, aku adalah buku dongeng lawas yang digeletakan seharian di depan perapian, aku berantakan, penuh coretan, kotor terkena tinta, bahkan kusut termakan zaman. Disana aku menceritakan tentang dunia yang tidak seorang pun tahu, selain aku. Kemudian dengan semua harapan dan segenap keinginan itu aku menjelma menjadi manusia seperempat abad yang akhirnya kelelahan.

Pada jum’at pagi, minggu, senin, sesekali selasa, dan rabu yang mana matahari terbit lebih cepat dari biasanya, aku adalah cangkir dingin yang tak kunjung digunakan (entah karena sayang atau memang ada cangkir yang lebih bagus dari aku), disana aku hanya duduk diam menyaksikan matahari terbit hingga terbenam, menerima segala jenis obrolan santai, kemudian orang-orang akan berlalu lalang membawa segelas kopi kenangan, tuku, fore, bahkan nama-nama asing yang sulit kulafalkan, mereka berjalan membawa beban, kekecewaan, amarah, dan aku hanya duduk diam, masih berdebu, ternyata lebih enak menjadi cangkir yang dingin dan tidak dipedulikan dari pada menjadi manusia dengan setumpuk tugas tidak terselesaikan.

Diatas dunia yang kutulis sendiri itu terdiri dari banyak awan-awan hitam yang menggantung, anehnya dimataku hal itu justru mirip seperti gulali pasar malam beraneka bentuk, manis, dan menggoda untuk dicicipi. Disana hujan bukan lagi terdiri dari deras air melainkan gelembung warna-warni. Tidak ada gemuruh petir, hanya berisi lagu Sal Priadi, Nadin Amizah, dan Panji Sakti. Lautnya terdiri dari lapangan luas sepanjang mata memandang, ikan-ikan melompat, timbul tenggelam, berlarian, beberapa paus tertawa, ubur-ubur dan ikan hiu bahkan berlomba terbang menangkap gelembung hujan, disanalah semua harapan manusia ditampung lautan. Aku bisa menaiki kapal dengan nahkoda yang bergaya necis dan berikat kepala kuning terang menyala. Menebar do’a disana dan dengan begitulah lautan menerima semua rapuh patahku dengan begitu lapangnya.

Tidak ada ketakutan, tidak ada penghakiman, harapan bisa kuatur semampuku, bisa berjalan sebisaku, sejauh yang aku mau, sendiripun aku tidak peduli, pulang ke kawanan pun aku bisa, menjadi besar bukan beban, menjadi kecil sebuah kelebihan. 

Tapi ini bukan dunia itu. Aku tidak hidup disana. Tidak bisa juga kan?


Salam hangat,
Sehangat nasi yang baru matang
Ini aku, Any


Komentar

Postingan Populer