Sebuah Cerpen: Penyakit yang Tidak Ada Obatnya
“Ayah, ceritakan padaku tentang negeri itu.” Gadis kecil itu mengerjapkan matanya sembari memeluk boneka beruang berwarna cokelat.
Lampu di ruangan itu sudah mati, menyisakan lampu tidur yang masih menyala. Sang ayah memperbaiki letak duduknya, berdeham beberapa kali sebelum memulai ceritanya.
***
Suatu ketika di Kerjaan Pars yang indah nan jauh disana, hiduplah seorang pemuda bernama Aslan. Bagian selatan Kerajaan Pars dibatasi oleh pegunungan yang menjulang gagah, sementara di bagian barat kerajaan ada lautan biru yang membentang sejauh mata memandang. Sebagaian penduduk Kerajaan Pars bekerja sebagai petani, tak heran jika banyak sawah menguning yang terhampar luas di penjuru kerajaan, ladang-ladang yang ditumbuhi dengan sayur mayur dan buah-buahan, sungai jernih membentang tanpa pernah takut kekeringan. Kerajaan yang sempurna.
Dulu bagi Aslan tidak ada kerajaan yang amat tentram dan damai selain Kerjaan Pars, juga tidak ada penduduk yang lebih peduli kepada orang lain selain penduduk Kerajaan Pars, tapi nampaknya wujud kepedulian itu kini sudah melewati batasnya, sehinga kedamaian yang dulu Aslan rasakan mulai terkikis. Apapun yang tidak sesuai di mata penduduk akan dibicarakan. Misalnya saja hari ini, saat Aslan hedak pergi ke atas bukit untuk bersantai dan mengunjungi seorang kakek tua yang tinggal diatas bukit itu, maka sepanjang perjalanannya ke bukit orang-orang akan mengoceh bahwa Aslan ingin menemui kekasih barunya, bahkan ada yang mengatakan bahwa kebiasaan Aslan ke atas bukit adalah wujud dari kesepian yang menggerogoti hidupnya. Bah, sangat peduli bukan?
Oleh karena itu, Aslan sering pergi ke atas bukit untuk mencari kesunyian. Jauh dari pemikiran penduduk yang selalu berfikir buruk. Jauh dari ungkapan sombong yang akhir-akhir ini sering penduduk Pars lontarkan antara satu penduduk dengan penduduk yang lain.
“Aslan.”
Aslan menoleh. Kakek tua yang tinggal diatas bukit ikut duduk sembari menyelonjorkan kedua kakinya. Semilir angin menggelitik wajah Aslan.
“Apa itu cinta?”
Aslan menghela nafas. Menggeleng. “Ah, entahlah, Kek.”
Kakek tua yang duduk disisi Aslan terkekeh kecil “Kau selalu menjawab itu setiap kali aku bertanya, berbeda sekali dengan banyak pemuda lain yang sibuk mengoceh panjang lebar tentang cinta.”
“Apa kakek bisa menjelaskan apa itu pedas?” Tanya Aslan balik kepada sang kakek.
Kakek tua itu menggeleng.
“dan tentu kakek juga tidak bisa menjelaskan rasa manis.”
Kakek itu menggeleng pelan. Tangannya terangkat keatas sedikit, tanda menyerah. Terkekeh pelan.
“Maka dari itu aku tidak pernah bisa mendefinisikan cinta, Kek.”
Angin bertiup perlahan, dari kejauhan kastil megah Kerajaan Pars terlihat kokoh. Aslan mendesah pelan, nyatanya kerajaan ini tidak sekokoh aslinya.
“Anehnya, Kek. Kebanyakan orang sekarang, meyalahartikan cinta.” Lirih Aslan.
Kakek tua itu menepuk bahu Aslan pelan. Lantas ikut hanyut dalam lamunan Aslan, memandang keindahan pengunungan berbaris di depan mereka, diselingi oleh asap-asap yang mengepul dari cerobong asap milik penduduk.
“Dibawah sana kacau sekali, aku hampir tak bisa bernafas disana.”Aslan memandang pemukiman penduduk dengan sendu,“Penyakit itu terlalu mudah menyebar, sangat cepat.” Aslan mengusap wajahnya.
“Kerajaan yang terlalu sempurna untuk dirusak, aku hanya berharap makin banyak orang yang berpikiran sepertimu, Aslan.” Harap sang Kakek tua.
***
Aslan terbangun dari tidurnya, hari ini ia mendapati suasana yang berbeda dari biasanya. Angin tidak bertiup ramah seperti hari-hari sebelumnya, awan hitam menggelayut di atas pegunungan, sungai yang mengalir di depan rumahnya mendadak berubah menjadi keruh, suasana hari itu mencekam. Aslan bergegas turun dari ranjangnya, hendak menutup pintu peternakan yang berada dibelakang rumahnya, takut jika badai turun secara tiba-tiba.
“Aslan!”
Aslan menahan langkahnya, berbalik menuju pintu depan rumahnya. Sedikit ragu sebelum membukakan pintunya, takut bahwa itu salah satu penduduk yang hendak melontarkan kata-kata bernada pedas yang sudah muak Aslan dengar.
“Aslan!”
Aslan menghela nafasnya. Membukakan pintu rumahnya.
“Kau kemana saja kemarin, hah?”
Aslan terdorong ke belakang begitu seorang gadis berambut merah yang tidak ia kenal menerobos masuk ke rumahnya.
“Kau siapa?” Aslan menahan lengan gadis itu agar tidak masuk lebih dalam ke rumahnya.
Gadis itu mendelik ke arahnya. Melepaskan cekalan tangan Aslan lantas dengan santainya melenggang ke ruang tamu.
“Kau tahu apa yang kita akan hadapi?”Tanya gadis itu sembari duduk disalah satu kursi kayu.
“Badai?” Jawab Aslan. Jelas sekali, bahwa badai akan muncul sebentar lagi.
Aslan memandang keluar jendela. Langit makin hitam, beberapa penduduk sibuk menarik ternaknya untuk masuk kembali ke dalam kandang. Sepertinya badai kali ini akan benar-benar dahsyat.
“Coba lihat ini.” Gadis itu menumpahkan isi tasnya.
Aslan mengalihkan pandangannya, ia tercekat saat melihat surat bertintakan darah berserakan di meja ruang tamunya, baunya yang busuk membuat Aslan mual.
“A-apa ini?”
“Surat dari kerajaan untuk para bangsawan.”
Aslan mendekat, ada stempel kerajaan disana. Aslan membaca dengan cepat isi surat itu, ada tiga poin penting yang tertulis disana:
1. Larangan untuk memakai riasan wajah dan mempercantik diri.
2. Larangan untuk menikah dan memiliki keturunan.
3. Perintah untuk menyerahkan seluruh anak kecil berjenis kelamin perempuan ke kastil kerjaan.
“Itu sudah dikirimkan ke seluruh bangsawan kelas rendah,” Lirih gadis bermata hijau emerlad itu “tidak lama lagi, surat-surat ini akan dibagikan ke seluruh penjuru kerajaan. Kau tahu Aslan seberapa daruratnya keadaan kita sekarang?”
“Kau seharusnya menemui Raja, bukan aku.” Tegas Aslan, keadaan saat ini berubah menjadi kacau total. Bahkan kali ini kerajaan juga ikut andil dalam kekacauan ini.
Gadis itu menggeleng.
“Itu bukan ide yang bagus, Aslan.” Gadis itu menghela nafas berat “Raja sudah tidak ada, coba kau lihat atas perintah siapa surat itu dikeluarkan.”
Aslan melirik ke arah surat itu “Ratu?”
Gadis itu mengangguk “Ratu terserang penyakit Aslan, kecintaan penduduk kepadanya membuatnya buta hingga melupakan besar cinta Raja kepadanya, kecintaan ratu kepada kecantikan dirinya sendiri membuat ia rela menghunuskan pedang kepada Raja, bahkan rela mengutus pengawal untuk membunuh putrinya sendiri, ia haus akan pujian. Cinta rakyat kepadanya membuatnya gila. Bahkan ia mengeluarkan perintah tidak masuk akal seperti itu. Kerajaan Pars sempurna telah kehilangan kedamaian, Aslan.”
Aslan mengangguk pelan. Jelas sekali bahwa penyakit itu memang sudah menjangkiti banyak orang.
“Kau siapa?” Tanya Aslan. Ia jelas harus tau siapa gadis yang dengan seenaknya mengotori meja ruang tamunya.
“Fay.” Gadis itu meraih tangan Aslan “Aku butuh bantuanmu, pemuda dengan hati paling lapang di seluruh penjuru kerajaan.”
***
Fay menyarankan Aslan untuk menemui seseorang yang tinggal di pedalaman hutan, seseorang yang bisa mereka mintai bantuan untuk menyembuhkan sang Ratu. Keduanya segera menuju perbatasan kerajaan paling timur, ada hutan tropis yang gelap dengan pepohonan tinggi dengan tanah yang lembab disana. Hal itu membuat jarang sekali ada penduduk yang mau untuk masuk ke dalam hutan gelap itu.
“Kita harus temukan orang itu segera, Aslan.” Ujar Fay. Tangannya lincah memangkas ranting-ranting yang menghalangi jalan mereka.
“Fay, kenapa aku?”
Gerakan tangan Fay terhenti. Badannya berputar menghadap ke arah Aslan. “Kau tahu Aslan? Keadaan kerajaan kita akhir-akhir ini sungguh mengerikan. Banyak bangsawan yang menyalahgunakan arti cinta, bagi mereka cinta adalah perjuangan dan perjuangan adalah peperangan.”
Aslan mengangguk. Ia sudah mengetahui hal itu sejak lama.
Fay duduk di salah satu akar pohon yang paling besar. Meminum setegak air dari perbekalan yang sempat mereka siapkan.
“Banyak dari istri-istri bangsawan itu, mereka menganggap cinta adalah segalanya. Mereka mencintai diri sendiri hingga mereka antipati pada yang lain. Sungguh Aslan, aku merindukan keadaan Kerajaan Pars dulu, saat semuanya masih tentram, saat surat-surat yang saling terkirim adalah surat-surat cinta, bernada indah, beraroma bunga mawar yang menyegarkan. Sedangkan, kau lihat?”
Fay mengusap wajahnya yang lelah.
“Surat-surat yang akhir-akhir ini beredar, berisi ancaman, pujian bernada kesombongan, berbau busuk.”
Aslan termenung.
“Hanya orang berhati lapang sepertimu yang bisa membantuku, orang yang paham hakikat cinta yang sebenarnya.” Lanjut Fay lirih.
Aslan terdiam. Ia rasa angin berhembus lebih dingin dari biasanya, ia tidak bisa melihat langit dari bawah sini. Entah sudah berapa jam mereka berada didalam hutan lembab ini, sejauh ini rumah yang Fay jelaskan belum terlihat tanda-tandanya.
“Ayo, Fay.” Aslan mengulurkan tangannya membantu Fay bangun dari duduknya. Berharap ia akan segera menemukan titik terang ditengah hutan gelap ini.
***
Aslan hampir kehilangan kesadaran saat ia menginjakan kaki di rumah yang mereka cari, seluruh tulang di tubuhnya seakan-akan remuk. Keadaan Fay juga tidak lebih baik dari keadaannya.
Asap mengepul dari cerobong asap rumah itu, hal itu membuat mereka berdua menghela nafas lega. Usaha keras mereka menembus hutan tidak sia-sia.
“Tuan Jean!” Fay mengetuk pintu yang sedikit reyot itu.
Derap langkah kaki terdengar mendekat. Pintu itu terbuka dan menimbulkan suara berderit yang memilukan, mungkin karena engselnya yang sudah berkarat. Dibalik pintu itu muncul seorang pria berjanggut putih, ia memegang tongkat kayu setinggi pinggang, wajahnya yang menyenangkan nampak bercahaya.
“Astaga, Fay. Kaukah itu?”
Fay menghela nafas. Mengangguk. Air matanya mengalir. Ia memeluk Tuan Jean dengan erat.
“Tuan Jean, aku butuh bantuanmu.” Sergah Fay cepat.
Tuan Jean melepas pelukaannya “Ada apa, Fay? Astaga, kenapa penampilan kalian buruk seperti ini? Ayolah masuk, hangatkan diri kalian dahulu.”
Tuan Jean memberi mereka secangkir teh hangat. Fay menjelaskan dengan cepat keadaan yang sedang Kerajaan Pars akhir-akhir ini hadapi.
“Astaga, ini sulit Fay.” Lirih Tuan Jean, saat Fay menyelesaikan penjelasaannya.
“Kau pernah bilang hal seperti ini cepat atau lambat akan muncul di kerajaan, dan itu benar, Tuan. Bukankah hanya orang berhati lapang yang bisa menghadapinya? Untuk itu aku membawa Aslan disini.” Fay meraih tangan Tuan Jean. Memohon bantuan.
Tuan Jean menghela nafas. Menggeleng. Tanda ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Fay menunduk dalam. Gelap semakin merambat di luar sana. Sunyi.
“Fay, kau tahu apa yang paling dalam dan gelap di dunia ini?” Tuan Jean membuka suara.
Fay menggeleng.
Tuan Jean menatap Aslan. Aslan menggeleng. Ia terlalu lelah untuk berfikir.
“Hati.”Jawab Tuan Jean. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan.
“Kau tidak dapat mengukur sedalam dan segelap apa hati seseorang, begitu juga kau tidak dapat menyembuhkan penyakit hati mereka dengan begitu mudah. Harus ada kemauan dari orang itu sendiri.”
Tuan Jean menatap ke arah perapian. Suara kayu yang bergemetak mengisi ruang tamu. Diluar suara binatang liar mulai terdengar, malam merambat ke seluruh hutan.
“Kau tidak bisa menebak isi hati manusia. Penyakit itu menggerogoti orang secara perlahan, memulainya dari penyimpangan kecil lantas berubah menjadi kebiasaan, sehingga memiliki pembenaran terhadap dirinya sendiri. Selalu ada pembenaran bagi orang-orang seperti itu.”
“Kami harus bagaimana, Tuan Jean?” Tanya Aslan.
"Sungguh, ini penyakit yang serius. Mematikan. Tidak ada obatnya kecuali orang itu sendiri yang mau merubahnya.”
Tuan Jean menyeruput teh nya.
“Kalian berdua tinggallah disini, beberapa hari kedepan.” Ujar Tuan Jean beranjak dari tempat duduknya.
“Apakah Kerjaan Pars benar-benar akan hancur?” Tanya Fay lirih. Menahan langkah kaki Tuan Jean.
“Tidak Fay, kerajaanmu terlalu indah untuk hancur, hanya saja ia akan rapuh, akan sangat mudah diserang. Tenanglah, masih banyak penduduk yang memiliki hati jernih, penyakit itu tidak bisa menginfeksi mereka yang selalu berpikir benar.”
“Bagaimana dengan surat yang akan kerajaan keluarkan? Bukankah itu akan membahayakan penduduk?” Tanya Aslan. teringat dengan surat bertintakan darah yang ia lihat.
“Maka dari itu menetaplah disini, hingga keadaan diluar sana benar-benar aman. Disana akan ramai dengan pemberontakan, pembantaiannya atas nama ketamakan. Percayalah tidak akan ada yang perlu kalian khawatirkan lagi.”
Fay terisak. Mengingat kedamaian yang menguap dari Kerajaan Pars. Kerajaan yang terkenal dengan keramahan para penduduknya.
“Jaga hati kalian.” Tuan Jean terdiam sejenak “Karena sungguh, hingga beberapa abad kedepan penyakit itu akan terus menjangkiti hati manusia.”
Aslan memejamkan matanya. Hatinya ikut sesak.
“Teruslah berbuat baik, Aslan. Jangan pernah memanjakan dirimu atas kesalahan yang kamu perbuat, katakanlah benar jika itu benar, begitupun sebaliknya.”
Tuan Jean menghela nafasnya.
“Karena sungguh, dirimu adalah hakikat kerajaan yang sebenarnya. Dan hati adalah Sang Raja yang sesungguhnya”
***
“Dia sudah tidur, Aslan?”
Aslan mengangguk, mengusap rambut putri kecilnya.
“Apa dia tidak bosan saat ayahnya mendongengkan pengantar tidur yang sama setiap malam?”
“Dia yang memintanya, Fay.” Aslan tersenyum simpul.
Kairo, 24 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar