Sebuah Cerpen: Kemala
Lampu merah tanda berhenti sudah berubah hijau sejak dua menit yang lalu, tapi nampaknya antrian kendaraan masih terjadi. Karena, klakson kendaraan mulai bersahut-sahutan, suara nyaringnya memekakkan telingaku.
”Ada bapak-bapak buncit keluar
dari mobilnya."
Aku berjengit kesamping
sedikit kaget tiba-tiba mendengar seorang perempuan dari sebelahku.
"Matanya melotot sampai
hampir keluar."
Perempuan itu tertawa kecil.
Apanya yang lucu?
"Sekarang bapak itu lagi
marahin mbak yang ada di dalam mobil putih, soalnya udah bikin macet jalan."
Perempuan itu terdiam,
sementara nampaknya jalanan di depanku sudah mulai lancar lagi.
"Kamu mau kemana?" Tanya
perempuan itu setelah beberapa detik terdiam.
Aku menghela nafas, sedikit risih dengan pertanyaan bernada iba yang baru saja perempuan itu lontarkan tapi, sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menjawab pertanyaan itu.
"Ke toko seberang jalan." Jawabku dengan malas.
"Toko bunga atau toko roti?" Tanya perempuan itu lagi.
"Toko roti."
"Ayo aku antar." Perempuan itu menawarkan diri untuk membantu.
Aku menoleh ke arahnya. Dia
bilang apa barusan?
"Aku bisa sendiri." Aku sendiri sadar bahwa ucapanku yang barusan bernada ketus.
Terdengar suara helaan nafas dari perempuan itu. "Kamu udah berdiri di sini dari setengah jam yang lalu loh. Masih egois bilang kalo bisa jalan ke seberang jalan sendiri?"
Perempuan itu meraih tongkat dari tanganku, lalu tanpa menunggu persetujuanku lagi ia mengambil sebelah tanganku yang bebas lantas membawaku menyeberangi jalan.
Aku mengalami kecelakaan tiga bulan yang lalu, hal itu menyebabkan aku kehilangan penglihatanku. Dokter mengatakan bahwa ada bagian otak yang berada tepat di bagian belakang kepalaku, bagian itu berfungsi untuk menerjemahkan informasi. Namun, sejak kecelakaan itu terjadi, bagian itu tidak dapat lagi menerjemahkan informasi yang dikirim oleh mataku sendiri. Terkadang aku ingin menertawai bagian dari kepalaku itu, bagaimana bisa mereka tidak bisa saling bekerja sama padahal sama-sama terletak di kepala.
Rasanya aku benar-benar ingin
mati saja hari itu, hari dimana kesadaranku kembali. Saat itu aku bisa
merasakan kepalaku berdenyut nyeri, rasanya amat menyakitkan. Aroma
khas rumah sakit semakin membuat kepalaku sakit. Beberapa saat kemudian aku baru menyadari bahwa aku sedang berbaring di
sebuah ranjang dengan infus yang terpasang ditanganku. Aku merasakannya tapi, aku tidak bisa melihat apa-apa selain seberkas cahaya menyilaukan yang menyiksa
mataku lalu setelahnya serentetan adegan menyedihkan mulai menghampiri kehidupanku.
Aku frustasi, saat kehilangan penglihatanku.
Selama satu bulan penuh aku hanya menghabiskan waktuku untuk beraktifitas di sekitar rumahku. Mencoba membiasakan diri dengan melangkah perlahan sembari mengingat-ingat setiap detail sudut rumahku. Dua kali seminggu aku menghabiskan waktuku di rumah sakit untuk menjalani terapi. Dokter mengatakan bahwa penglihatanku bisa kembali seperti sediakala dengan terapi khusus. Tapi, meskipun memiliki harapan seperti itu aku tetap saja menggertakkan gigi jika ada yang mengusap pundakku dan mencoba menguatkanku, demi apapun aku muak dengan kalimat bernada iba yang orang-orang lontarkan. Aku marah pada Tuhan yang rasanya sangat tidak adil kepada ciptaannya, kenapa ia dengan sangat tega mengambil penglihatanku saat aku sedang berada di puncak kehidupan yang selalu aku impikan.
"Kita masuk?"
Aku menahan langkah kakiku,
gadis yang entah tidak kuketahui identitasnya itu sudah membawaku menyeberangi jalan. Aroma fari roti-roti yang baru selesai dipanggang menguar menyambut indra penciuman.
"Diam. Berarti, iya kita masuk"
Aku menyentakkan tanganku. "Aku bisa sendiri."
Gadis itu menghela nafasnya,
menyerahkan tongkatku. Membiarkanku berjalan sendiri.
Aku masih sangat bisa untuk berjalan
tegak dengan kedua kakiku, aku juga bukan orang yang menyedihkan. Aku bahkan sudah
mati-matian menguasai huruf braille dalam waktu singkat. Aku juga sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk mengingat lokasi-lokasi yang sering aku kunjungi, dengan memperkirakan setiap langkah kakiku ketika berjalan. Siapa gadis itu? Kenapa seenaknya bertanya dengan nada iba kepadaku.
Aku bergeser ke kiri, jika tidak salah aroma rotinya berasal dari sana, itu
pasti pintu masuknya.
"Hei."
Lagi-lagi dia memanggil, akan
lebih baik jika aku tidak menghiraukannya. Aku bisa sendiri.
"Hei, pintu masuknya di
sebelah kananmu."
Aku tertegun di tempat.
Sedetik kemudian aku mendengar suara pintu kaca terbuka.
"Manusia selalu
membutuhkan bantuan manusia lain." Gadis itu menarikku masuk ke dalam.
Meskipun aku tidak melihat
apapun, aku tahu dia berbicara dengan kedua sudut bibir yang melengkung ke atas.
***
"Here we are."
Gadis itu mempersilakan aku untuk duduk.
"Aku ke kamar mandi dulu
ya."
Aku terdiam. Terserah.
Toko roti ini adalah salah
satu tempat favorit yang sering aku kunjungi saat aku sedang sibuk-sibuknya
mengerjakan proyek yang belum selesai. Aku sangat mengenal tempat ini, bahkan
aroma khas dari setiap roti yang mereka sediakan aku hafal setengah mati.
"Mas Gilang?"
Itu pasti Sofia, salah satu
karyawan disini. Aku mengenal suaranya.
"Kok bisa disini,
sendirian?"
Aku mengangguk. Aku memang
berniat ke tempat ini sendirian.
"Saya dengar Mas Gilang kecelakaan, saya turut ber─"
"Aku pesan yang biasanya
ya, Sof."
Aku memotong kalimat Sofia. Sudah ahu kata-kata apa yang akan diucapkan Sofia selanjutnya.
"Em, oke, Mas. Tunggu
sebentar."
Beberapa saat setelah Sofia
meninggalkan meja, aku mendengar bangku di depanku ditarik mundur.
"Jadi nama kamu Gilang?"
Aku mengangguk.
"Aku Mala." Sahut perempuan itu.
"Pasti kamu orang yang
cuek, galak dan judes juga ya?"
Astaga Tuhan, siapa sih gadis
di depanku ini?
"Kamu jangan natap aku kaya gitu, awas nanti jatuh cinta."
Mala tertawa kecil.
Demi apapun bahkan untuk berada disini, aku menghabiskan waktu yang sangat lama ketika berada dijalan bahkan hari ini dengan terpaksa aku membutuhkan bantuan orang lain.
Bagaimana dia bisa bercanda seperti itu. Menatapnya? Jatuh cinta? Bagaimana mungkin.
"Gilang, aku tau kamu itu sebenarnya orang baik. Kamu dengerin aku sebentar, gak?"
Nyatanya aku tidak punya pilihan lain selain mendengarkannya.
"Memaafkan diri sendiri dan berhenti menyalahkan takdir emang
susah tapi, kamu pernah kebayang gak sih. Sebenernya banyak orang diluar sana yang
hidupnya gak seberutung kamu."
Aku mendengus pelan. Ternyata dia sedang mencoba menasehatiku?
"Aku tahu kamu frustasi. Tapi, coba deh terima keadaan kamu sekarang. Kalau kamu udah bisa nerima diri kamu, aku yakin seratus persen perasaan kamu pasti jadi lebih baik.
Gak semua hal harus kamu lihat dengan mata, ada beberapa hal di dunia ini yang justru baru kamu bisa lihat dengan hati yang lapang. Sebuah penerimaan."
Mala terdiam sejenak. Aku ikut terdiam, anehnya seperti ada palu yang memukul telak di jantungku.
"Kamu beruntung bisa
selamat dari kecelakaan itu. Seharusnya kamu berterimakasih sama diri kamu sendiri
yang masih mau berjuang untuk hidup, bukan malah menyalahkan Tuhan dan menyesali hidup kamu, Lang."
Kali ini aku sempurna terdiam,
apa yang dikatakan Mala sangat benar.
"Jangan pernah nolak bantuan dari orang lain lagi ya."
Bangku di depanku bergeser, dari suaranya aku tahu Mala berdiri hendak beranjak dari posisinya.
"Mala." Dengan ragu aku
memanggil namanya.
"Kalo kamu gak bisa
nerima nasehat aku. Gak papa, itu hak kamu."
"Bukan itu. Kira-kira kita bisa ketemu lagi nggak?"
Aku tahu Mala tersenyum mendengar
pertanyaan ku.
"Setelah penglihatan kamu
kembali, kamu bisa cari aku. Kemala Andiyani, aku tinggal sekitar sini."
***
Hampir pukul lima sore, matahari sudah turun dari peraduannya. Angin kencang membuat beberapa kelopak bunga yang berada dalam pelukanku berjatuhan. Setelah pertemuanku dengan Mala tempo hari, aku jadi kembali menyakini bahwa ada banyak hal yang patut aku syukuri, termasuk kenyataan bahwa penglihatanku bisa kembali lagi. Setelah menjalani terapi khusus selama satu tahun lamanya. Penglihatanku akhirnya kembali. Dan disinilah aku berdiri, ini adalah hari peringatan dua tahun setelah kecelakaan tragis menimpaku, hanya aku satu-satunya orang yang selamat dari kejadian hari itu.
Mobil yang aku kendarai hari itu bertabrakan dengan mobil lain berisi satu keluarga dan kali ini aku berdiri di samping salah satu makam korban
kecelakaan hari itu, makam putri sulung keluarga itu. Nama Kemala
Andiyani tertulis di sana.
Komentar
Posting Komentar