Kelahiran kembali; sebuah catatan kontemplasi setelah liburan.

Hai, It's been two months since my holiday in Indonesia, banyak hal yang saya syukuri pun tak terelakan ada juga beberapa hal yang mengundang penyesalan, selama dua bulan ini tidak banyak yang saya lakukan hanya berdiam diri di rumah, mengurangi intensitas penggunaan gadget, memperhatikan emosi yang saya rasakan, juga mencoba untuk fokus pada apa-apa yang terjadi di sekitar saya; matahari pagi yang mengintip diantara dedaunan, kicauan burung pagi, ayam jantan yang berkokok, gemertak kayu dari tungku api, angin gunung yang bertiup dengan sejuk.

Di sore harinya tonggeret berlomba-lomba menyanyikan nyanyian penutup hari, orang-orang pulang selepas bertani, baju-baju penuh tanah, binatang ternak yang kenyang mengunyah rumput seharian, senyum lebar ibu-ibu yang menyapu halaman menyambut anak-anak mereka sepulang mengaji. Di malamnya ketika pemadaman lampu mendadak saya akan dengan senang hati menatap langit mencari sumber cahaya yang berkerlap-kerlip menghias indah diatas sana, jika beruntung cahaya bulan purnama akan menerangi jalanan, hening, tidak ada suara kendaraan, tidak ada suara teriakan, hanya ada suara alam. 

Berbeda jika hujan turun, maka pemandangan sekitar saya akan berkali-kali lipat jauh lebih indah. Hijau sepanjang mata memandang, kabut mengambang pelan menyelimuti jalanan, bapak-bapak dengan sandal jepit mengeratkan jaket mereka menuju musholla terdekat, puji-pujian melantun dengan makhrajil huruf seadanya namun bisa kurasakan keyakinan dari nadanya sebuah keyakinan bahwasannya Allah Maha Mengetahui apa yang hambanya pinta meski dengan keterbatasan ilmu sang makhluk. 

Sesekali pergi mengunjungi pondok tempat saya dulu belajar, mengunjungi Purbalingga menemui Abah Yai yang bersahaja, mengayomi, membumi, yang hari-harinya selalu berpuasa. Mengobrol dengan Ibu Nyai yang murah senyum, bersahabat, kami mengobrol selayaknya kawan, sesekali beliau bercanda, namun hal tersebut tidak sama sekali mengurangi nilai hormat saya kepada beliau, justru kasih sayangnya membuat saya semakin mencintai sosoknya; sebuah pelajaran sepanjang hidup, bahwa kasih sayang yang tulus bisa begitu membekas dan meninggalkan kebaikan-kebaikan yang melapangkan hati. Satu bulan yang berkesan, ingin rasanya tinggal berlama-lama disana. 

Mengunjungi Demak, menemui Mbah Yai—guru Abah saya— ingin juga rasanya menghabiskan waktu yang lama disana, tanpa banyak tuntutan, menenangkan sekaligus menyenangkan, bertumbuh tanpa banyak suara dan kemarahan, menerima tanpa banyak tuntutan untuk mengembalikan; sebuah pelajaran ikhlas seumur hidup, bahwa setiap kita tidaklah layak berharap kepada selain-Nya.

Dalam dua bulan ini saya menyadari bahwa terkadang dalam kehidupan ada beberapa hal yang tidak bisa dihindari seumur hidup, mau tidak mau saya harus hidup berdampingan pun memeluknya erat-erat karena mau tidak mau hal tersebut sudah menjadi bagian hidup saya, bagian dari diri saya. Saya juga belajar bahwa untuk setiap sesal dan kecewa yang saya rasakan tidak sepatutnya saya menyalahkan diri saya; kembali menyadari bahwa setiap kita berharga dan tidak masalah jika sesekali salah menghinggapi. Toh, kita hanya manusia yang sangat berpotensi melakukan kesalahan bukan?

Dua bulan yang singkat untuk belajar mengontrol diri dan emosi yang saya rasakan, untuk kembali fokus dengan apa yang ada di hadapan saya; living at the moment. Dua bulan yang mengajarkan saya banyak hal, untuk bersyukur atas segala hal; untuk setiap detik yang saya habiskan di hidup saya, untuk setiap doa berharga yang mengalir untuk semua urusan saya. Syukur atas nikmat yang tiada habisnya.

Dan hari esok adalah langkah baru, meski masih tertatih tapi kaki harus lebih tegap untuk kembali memunguti kepingan-kepingan mimpi yang sebelumnya tercecer lantas mengantonginya bersama doa dan usaha yang tiada henti. 

Pada kelahiran yang baru ini, lahir pula mantra-mantra baru yang akan diucapkan penuh suka cita; sembuh dan bahagia. 


–semoga hilang segala pilu. 

Jakarta, 29 September 2022



Komentar

Postingan Populer