Kehilangan dan Usaha Mengikhlaskan
Setiap manusia pernah merasakan kehilangan, mulai dari kehilangan hal-hal kecil seperti kucir rambut, karcis parkir, sekeping koin, korek api, pensil kesayangan, juga barang remeh temeh lainnya, hingga kehilangan hal-hal berharga yang keberadaannya tidak bisa tergantikan dan meninggalkan ruang kosong dalam hati kita. Sebuah kehilangan yang begitu membekas, kehilangan orang-orang terkasih yang hidupnya sudah lebih dulu mengangkasa.
Aku mengalami kehilangan pertama dalam hidupku saat umurku bahkan belum genap enam tahun. Ingatanku sayup-sayup jika berbicara tentang Helmi, begitulah kami memanggilnya. Yang aku ingat, malam itu semua kejadian terasa begitu cepat. Mama dilarikan ke rumah sakit terdekat. Lalu kutemui diriku berdiri di depan sebuah ruangan asing, pintunya kaca, kulihat Mama dikelilingi beberapa orang berbaju putih, wajahnya pucat pasi sebelum akhirnya aku didekap menjauh dari ruangan itu, kemudian aku bangun di sebuah kendaraan yang berjalan dalam gelap hanya ada siluet cahaya dari luar, ada sebuah kendi dari tanah liat di sudut kendaraan dan tidak kutemui Mama disana. Keesokan paginya rumahku ramai, aku berbaring di ruang tengah ada Helmi disana matanya terpejam, kudekati ia sambil berbisik pelan "Dek…" kupegang pipinya menggunakan telunjukku, dingin. Lalu aku beralih menatap Uak─kakak dari Mamaku─ "Dede bayinya kok gak bangun-bangun, Wak?" Tanpa memberi jawaban atas pertanyaanku, aku digendong menjauh dari ranjang itu.
Keesokan harinya tidak kutemui Helmi di rumah, tidak esoknya harinya, tidak di hari-hari selanjutnya, juga tidak di kehidupanku selanjutnya. Setelahnya, sering kutemui Mama berkaca-kaca ketika berbicara dengan beberapa orang sembari menungguiku di depan Taman Kanak-Kanak. Beberapa kali juga punggungku ditepuk halus menenangkan oleh beberapa orang yang lewat sembari berbisik tentang kepergiaan dan hal-hal yang saat itu tidak kupahami maksudnya namun berhasil membuat perasaanku sesak. Hingga akhirnya aku mengerti bahwa keluarga kami baru saja kehilangan sosok yang sangat berharga dalam kehidupan kami.
Kurang lebihnya hal itu pula yang membuat kehidupan kami sekeluarga berubah, bermigrasi ke kota besar dan memulai kehidupan baru di sana. Bersama-sama belajar menerima semua perubahan yang terjadi di hidup kami. Menerima semua kenyataan, bersabar dan memeluk semua kesedihan dan berdamai dengan segala rasa sakit karena bagaimanapun juga perasaan itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Karena, Helmi akan terus bersama kami menjadi kakak yang baik bagi Naja, adik bagiku, serta jaminan surga bagi Mama dan Abah.
Namun, kehidupan tetaplah kehidupan. Beranjak remaja aku menyadari bahwa hidup akan terus berjalan meski kita harus kehilangan seseorang. Bahwa kita akan bertemu orang baru pada lain kesempatan. Meski mungkin mereka hanya singgah sejenak untuk melihat-lihat, satu dua orang mungkin akan datang untuk membersihkan ruang tamu yang terlanjur menjadi sarang laba-laba, membersihkan debu di sofa dan menghiasnya dengan buket bunga, namun ada juga yang datang hanya untuk kian memorak-porandakkan dan membuat kekacauan. Tidak ada yang benar-benar menetap. Satu-satunya yang tetap utuh dan bertahan hingga akhir adalah diriku sendiri.
Kabar kehilangan yang begitu membekas lainnya menyambangiku ketika aku baru genap empat bulan menjejakkan kaki di Mesir, saat rasa ketertarikan dan penasaranku pada Mesir masih sangat tinggi. Saat aku baru saja bisa menghela nafas karena mulai bisa membiasakan diri di lingkungan baru. Saat aku mulai terbiasa dengan kerinduan-kerinduan yang begitu menganggu. Sebuah kenyataan menghantam diriku, bahwa Allah lebih merindukan Nenekku, tidak menyangka senyum perpisahan darinya sebelum keberangkatanku akan menjadi senyuman terakhir yang bisa kulihat darinya. Menjadi sebenar-benarnya perpisahan. Angin musim panas tahun itu menjadi saksi bahwa sekosong itu pengetahuanku mengenai perjalanan manusia. Sebab, aku tidak tahu satu detik kedepan, satu jam dari sekarang, apakah aku masih hidup atau justru pergi mendahului, atau siapa lagi yang akan mendahuluiku pergi. Sementara aku hanya melakukan banyak hal seolah-olah aku akan hidup selamanya di bumi ini. Di tahun itu, baru kusadari makna dari kematian adalah sebaik-baiknya nasehat.
Kali ini, saat aku sedang menikmati tahun terakhirku dan bersiap mengucap selamat tinggal pada Mesir. Kakekku lebih dulu mengucap selamat tinggal padaku. Meski kali ini aku sudah lebih siap dari sebelumnya hal itu tetap menjadi sebuah kabar pukul dua pagi yang mengejutkan. Tetap ada tangis yang tidak bisa ku bendung untuk turun sebelum akhirnya aku menyadari, bahwa ini adalah janji temu yang tidak bisa dihindari lagi, dengan segala kemudahan disaat-saat terakhir dalam hidup Mbah, kami meyakini ini adalah hal baik untuknya. Bahwa Kakek tidak perlu lagi kesepian dirumah, kini ia pulang untuk menemui Nenek. Memeluk tawa yang ia rindukan. Meskipun gerimis mengguyur pipi anak cucunya, tapi hati kami mendoakan kalian berdua. Selesai sudah tugasmu, Mbah. Melangit sudah abadi dalam kalbu.
Dan kehilangan tetaplah kehilangan, meski kita semua tahu kehilangan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari adanya, kehilangan tetap tidak pernah menyenangkan. Meski sudah mempersiapkan sedari jauh-jauh hari, kehilangan selalu menjadi kejutan yang menyesakan. Meski sudah belajar dan paham arti mengikhlaskan, kehilangan selalu berhasil membuat kita bertanya-tanya lagi perihal penerimaan. Meski begitu, kehilangan tetaplah kehilangan yang selalu memiliki sisi pembelajaran berbeda bagi orang-orang yang ditinggalkan. Kesedihan, juga perasaan sesak yang kerap menghampiri akan selalu mengajari kita cara untuk kembali hidup dan bertahan. Sementara ikhlas akan selalu menjadi pembelajaran seumur hidup yang tidak akan pernah kita lupakan.
sumber: itsrouzy on DevianArt
Selamanya…
Sampai kita tua
Sampai jadi debu
Ku di liang yang satu
Ku di sebelahmu
(Banda Neira – Sampai Jadi Debu)
Kairo, 28 November 2022/ 04 Jumadil Awal 1444
Mengenang Mbah Thoharoh binti Muidzah dan Mbah Shodiqin bin Sakyad, adik tersayang Muhammad Helmi Adam. Juga orang-orang yang telah mendahului kita, Al- Fatihah...
Komentar
Posting Komentar