Abah, Mama dan Impian Mereka Bagian Kedua
"Dulu, Kak. Waktu rumah ini belum jadi..."
Mama memulai ceritanya, ingatanku samar-samar tentang bagaimana rumah itu dibangun. Namun, satu hal yang pasti dengan melihat kondisi keuangan keluarga, rumah kami yang berada di kaki Gunung Slamet itu dibangun berangsur-angsur, bertahun-tahun.
"Kamu masih kecil waktu itu, di sini lagi hujan deras, anginnya kencang. Lalu, ada orang yang mampir ke rumah numpang berteduh, mereka dari desa sebelah. Kami duduk mengobrol sembari menunggu hujan berhenti, sampai akhirnya Mama tahu kalau anak mereka ada yang sedang bersekolah jauh di luar negeri, di Mesir, Kak." Mama menghentikan ceritanya, sementara aku mendadak merasakan dinginnya hujan deras yang terjadi bertahun-tahun silam di tengah teriknya musim panas kota Kairo. "Ditengah pembicaraan kami, Mama membatin, Kak. Betapa senangnya ya, jika punya anak yang kuliah di Mesir. Hari itu Mama gak pernah terbayang sedikitpun kalau akhirnya Kakak bisa kuliah disana."
Ternyata dulu, saat umurku masih belum genap enam tahun pernah terbesit dalam benak Mama untuk memiliki anak yang bersekolah di luar negeri. Meski begitu Mama dan Abah, mereka tidak pernah menuntutku untuk bersekolah disini, harus memilih Universitas ini, tidak pernah ikut campur tentang menjadi apa aku nanti atau bagaimana kelak aku akan hidup. Ketika awalnya aku memutuskan untuk mendaftar ke Universitas di Yogyakarta dan beberapa Universitas dalam negeri lainnya, Mama dan Abah mendukungku dengan penuh, meski akhirnya takdir kehidupanku membawaku kesini, ke Mesir. Boleh jadi adanya aku disini, ini semua berkat keinginan Mama, ini impiannya. Ma, tolong beritahu aku resep doamu itu, boleh?
Mereka selalu mengajarkan aku untuk tegak berdiri sendiri, mereka melepaskan aku untuk mandiri mengurus diriku sendiri, mengurus keuanganku sendiri, menyimpan berkas-berkas pentingku sendiri, termasuk membiarkan aku menahkodai kapalku sendiri, menjadi pemimpin bagi diriku sendiri. Aku harus tegas memutuskan pilihan hidupku, sesekali jika aku meringkuk ketakutan dan saat kurasa jalan yang kuambil salah, mereka akan datang mengusap pundakku menguatkan, membantuku untuk kembali berdiri melanjutkan perjalananku, lalu mengatakan bahwa aku selalu memiliki tempat untuk pulang bahkan jika seluruh dunia membenciku. Mereka rumahku, duniaku, segalanya bagiku.
Ketika Mama dengan sabar mendekap kami dengan doa-doanya, Abah selalu berada satu langkah di depan berjuang untuk keluarga kami, menyiapkan dana pendidikan, menyisihkan uang belanja rumah, tabungan, simpanan untuk keperluan mendesak. Abah juga yang memastikan dana pendidikan kami bersih dari harta yang tidak jelas, memastikan keperluan rumah tangga tercukupi. Selayaknya nahkoda kapal, Abah berdiri tegak di haluan kapal, memimpin ke mana arah keluarga kami akan berlayar. Sayup-sayup pernah kudengar sebuah kisah bahwa sejak kecil Abah sudah melalui badai hidup yang begitu dahsyat, bahwa hidupnya selalu tentang perjuangan, namun begitu hal tersebut tidak menjadikan Abah sosok yang keras kepada keluarganya. Dengan hebatnya badai tersebut, Abah justru lahir menjadi sosok yang begitu tenang, sabar, dan berwibawa.
Aku lahir dari kerendahan hati dua insan yang hatinya penuh harap kepada Sang Pencipta, dua insan yang hatinya penuh penerimaan, penuh kasih, penuh prasangka baik, dua malaikat yang kehadirannya tiada hentinya kusyukuri. Terimakasih Ya Allah atas segala nikmat yang Engkau berikan, atas iman, islam, cinta, kasih, ketenangan, kebahagiaan ini.
I love you Ma, Bah. Thank you for being a good freinds, a best teacher, and for everything that you give to me..
Komentar
Posting Komentar