Sebuah Cerpen: Kunjungan
Ada banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran dari dunia ini, mulai dari hal yang sangat besar sampai pada hal yang sangat kecil sekalipun. Apapun itu baik yang kecil maupun besar, semua itu bisa kita jadikan pedoman untuk mengarungi bahtera kehidupan, tergantung bagaimana kita memandang dan menyikapinya. Aku salah satunya. Aku belajar dari stasiun.
Setelah kereta yang adikku tumpangi mulai meninggalkan stasiun, aku juga beranjak dari sana. Sempat terbersit keinginan untuk mampir ke kedai kopi milik teman di dekat stasiun, tapi setelah dipikir-pikir apa enaknya ngopi di tengah hai seperti ini. Apalagi sendirian. Maka, aku putuskan untuk segera ke tempat parkir dan pulang, ada banyak kerjaan yang menungguku dirumah.
”Mas, keretanya sudah berangkat ya?”
Aku menoleh ke belakangku, memastikan perempuan dengan wajah menyenangkan di hadapanku ini sedang mengajakku bicara. Tidak ada siapa-siapa, artinya ia memang bertanya kepadaku.
Aku mengangguk, “Kalo yang kamu maksud kereta ke Surabaya. Iya.”
Perempuan itu mendesah, dari raut wajahnya aku tahu bahwa perempuan di hadapanku ini baru saja ketinggalan kereta yang berangkat tujuh menit yang lalu. Aku berniat meninggalkan perempuan itu begitu saja, toh tidak ada urusannya juga denganku. Tapi, rasa kasihan tiba-tiba saja menggerogoti perasaanku.
“Emang mbaknya mau kemana?” Aku bertanya. Berharap bisa sedikit memberi solusi untuknya.
“Nama saya Ningrum.” Ujar perempuan itu singkat, tanpa menjawab pertanyaanku. ”Saya gak suka di panggil pake embel-embel mbak.” Lanjutnya lagi.
Ah, jadi karena alasan itu. Wajar sih, perempuan zaman sekarang ada banyak yang tidak suka dipanggil mbak, adikku pun begitu.
“Kau tahu kedai kopi dekat sini?” Tanya Ningrum tiba-tiba. Tatapan matanya fokus ke ponsel di genggamannya.
Aku mengangguk.
“Saya butuh kopi. Sudah jauh-jauh datang ke Jogja mengejar narasumber. Ah, sial sekali kenapa harus macet segala sih.” Umpat perempuan di depanku dengan kesal. Ponsel di tangannya ia lempar begitu saja ke dalam tas ranselnya.
Aku sedikit kaget saat melihat wajahnya yang manis, mengumpat marah. Tapi, menurutku hal itu malah membuatnya terlihat lucu dan menggemaskan. Ada semburat merah yang muncul di kedua pipinya.
“Antarkan saya ketempat itu.”
“Eh?” Aku tersentak. Sedikit bingung. Dia memintaku untuk menghantarnya?
“Kau bilang tau tempatnya kan?”
"Begini,” jawabku mulai menjelaskan sebelum dia mulai berbicara lagi.
“Ayo.” Ujar dia memotong, sembari menarik kemejaku.
Begitulah, awal aku berkenalan dengan Ningrum. Ningrum itu seorang wartawan koran lokal di Surabaya. Dia itu perempuan yang amat kritis dan berpengetahuan luas, tak aneh sih bagiku. Mungkin sikap nya yang demikian kritis juga karena tuntutan profesinya. Tapi, disisi lain dia juga perempuan yang amat sangat manja. Hatinya amat perasa dan lembut. Pernah suatu malam, ia tiba-tiba menelfonku lantas menangis sepanjang malam dengan alasan yang amat sangat sepele, ia habis menonton serial drama dan tiba-tiba ia teringat ayahnya yang sedang dinas di Aceh Tenggara. Rindu, katanya. Sungguh, jika aku ada disisinya malam itu, pasti akan kudekap dia dengan sangat erat. Akan akan kukatakan padanya, bahwa aku juga rindu padanya. Sangat.
Setiap sebulan sekali. Aku akan berkunjung ke Surabaya untuk bertemu dengan Ningrum. Merecoki Ningrum yang katanya sedang sibuk-sibuknya kerja. Aku tidak peduli. Siapa suruh membuat orang rindu.
Kami akan menghabiskan waktu yang lama untuk membahas film baru, novel-novel yang sedang aku kerjakan atau kami hanya akan sekedar duduk santai membahas warna kucir yang Ningrum kenakan hari itu. Kemudian, kebersamaan kami akan ditutup dengan pembacaan puisi yang aku tuliskan untuknya. Teman-temanku bilang, kami cocok. Aku jago tulis puisi, sedang Ningrum jago membaca puisi.
Semua yang kami miliki sempurna. Ningrum yang amat pengertian dan aku yang sangat mencintainya. Bagiku, itu sudah cukup.
***
Hari ini, aku kembali duduk di stasiun. Bedanya, kali ini aku juga seperti orang-orang lainnya yang sedang menunggu kereta datang. Hari ini aku akan mengunjungi Ningrum. Seharusnya sejak kemarin sore aku sudah harus berangkat. Tapi, berkat pekerjaanku yang menumpuk banyak. Terpaksalah aku baru bisa berangkat siang ini. Semoga Ningrum tidak marah atas keterlambatanku.
Kurang lebih lima jam aku berada di kereta, hatiku membucah dengan perasaan yang sulit didefinisikan. Setibanya aku di Surabaya, adikku menjemputku di stasiun. Aku memang memintanya untuk menjemputku, sebab seperti biasa aku juga akan bermalam di rumah adikku dulu, sebelum esok pagi aku baru akan menemui Ningrum.
***
Matahari bersinar terang, cuaca pagi ini sungguh mendukung rencanaku. Maka, sudah sedari pagi aku bersiap, mengenakan kemeja terbaikku. Aku berencana memberi Ningrum sedikit kejutan dengan kemunculanku yang tiba-tiba di depan tempat tinggalnya. Aku juga sudah mempersiapkan bunga krisan putih kesukaan Ningrum, tak lupa juga secarik kertas puisi yang akan dibacakannya nanti. Aku sangat bersemangat dengan rencana itu.
Maka setibanya aku di sana, aku melihat Ningrum sedang mengamati pagi yang cerah, aku tahu Ningrum pasti sedang memperhatikan daun-daun menguning dari dahan kamboja yang ada di depan rumahnya.
Aku memberi salam kepadanya, sayangnya Ningrum tidak menjawab salamku. Aku tahu dia sedang marah kepadaku, itu wajar. Aku berharap semoga ia tidak terlalu lama marah kepadaku.
“Hei, maaf ya, aku telat.” Aku tersenyum, sembari duduk di depannya.
“Kemarin itu, ada banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor, bulan lalu aku sudah bilang bukan? Ada penulis yang karyanya sedang aku edit. Pacarmu ini editor tersibuk tahun ini.” Aku menghela nafas, mungkin kali ini aku sudah amat keterlaluan, membiarkan Ningrum menungguku tanpa sedikit pun kabar. Ya. Aku akui, aku salah.
“Kamu tau gak? Sepanjang perjalanan kesini, aku teringat lagi saat-saat kita kenal pertama kali.” Aku mulai mengeluarkan jurus andalanku, agar Ningrum berhenti mendiamkanku. “Aku ingat sekali saat kamu menarik kemejaku dengan semena-mena, memaksaku untuk menghantarkan kamu ke kedai kopi.” Aku tertawa kecil. Sia-sia. Ningrum masih bergeming tanpa kata-kata.
“Ningrum, sayang.” Aku meletakan bunga krisan putih di pangkuannya, lagi-lagi aku berharap bahwa dia akan berhenti mendiamkanku “Maafin aku ya,” Aku mencium pucuk kepalanya lama.
“Kamu tau gak? Aku suka sekali mengingat-ingat semua tentang kita. Bahkan, aku selalu terbayang wajahmu, tak pernah sedetikpun aku bisa melupakannya.” Aku mengusap kepalanya “Aku ini ya, meskipun jauh darimu, aku selalu menjaga hatiku, hari ini pun aku datang terlambat sempurna karena pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan.”
Lagi-lagi Ningrum hanya terdiam, air mataku mengembang. Aku lebih suka Ningrum yang berlagak galak atau manja. Dibanding dengan Ningrum yang hanya diam saja.
Aku mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejaku “Hari ini aku deh, yang bakal bacain kamu puisi, barang kali setelah kamu mendengarnya. Kamu mau maafin aku, dan ngomong lagi sama aku.” Kali ini sempurna air mataku mengalir.
Sepanjang yang aku tahu,
aku selalu ingin menari bersamamu.
Sepanjang waktu yang kumiliki,
aku ingin kamu yang selalu menemani.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menghilangkan sesak yang ada.
Sepanjang hidup yang kupunya,
aku selalu mencintaimu dengan segenap jiwa.
Aku tergugu. Tangisku pecah, hatiku remuk redam. Menyadari bahwa Ningrum tidak akan pernah lagi berbicara kepadaku. Aku masih duduk didepannya, menangis dalam waktu yang lama. Sebelum akhirnya aku beranjak dari tempatku, meninggalkan nisan bertuliskan nama Ningrum disana, tempat dimana bersemayamnya separuh jiwaku berada. Tempat dimana orang terkasihku tinggal untuk selama-lamanya.
Yogyakarta,
2019
Komentar
Posting Komentar